
Cerita Kontributor: Backpacking ke Malaysia dengan Budget Terbatas
Kazepost - Aku masih ingat jelas sore itu di Terminal Bersepadu Selatan, Kuala Lumpur. Ranselku terasa berat — bukan karena isinya, tapi karena perasaan campur aduk di dada. Ini adalah perjalanan solo pertamaku ke luar negeri. Bukan dengan koper dan hotel mewah, tapi dengan ransel kecil, niat besar, dan uang yang pas-pasan.
Awal Perjalanan: Tiket Promo & Rasa Tak Percaya
Semuanya berawal dari tiket promo low-cost airline seharga Rp450.000 pulang-pergi Jakarta–Kuala Lumpur.
Kupesan tanpa banyak pikir — dan beberapa hari kemudian baru kusadari, aku belum punya itinerary, belum menukar uang, bahkan belum tahu cara naik MRT di sana.
Tapi bukankah sebagian besar petualangan dimulai dari ketidaksiapan yang menyenangkan?
Begitu tiba di bandara KLIA2, aku menatap tulisan “Welcome to Malaysia” sambil tersenyum gugup. Rasanya seperti membuka bab pertama dari buku yang tak tahu akan berakhir di mana.
Menginap di Hostel, Bertemu Dunia
Aku memilih hostel kecil di kawasan Chinatown, harganya sekitar RM30 per malam (sekitar Rp100.000).
Kamar dorm campur, tapi bersih dan penuh warna. Di situlah aku bertemu teman baru —
-
Nisa dari Penang yang suka memotret mural jalanan,
-
Alex dari Prancis yang sedang tur Asia Tenggara selama 6 bulan,
-
dan Yuki dari Jepang yang mengajar yoga di Bali.
Di ruang tamu hostel, kami berbagi cerita, berbagi mie instan, dan berbagi tawa.
Itu malam pertama aku sadar: traveling bukan tentang tempat, tapi tentang orang-orang yang kamu temui di jalan.
Kuliner Kaki Lima, Rasa yang Tak Tertandingi
Makan di Malaysia ternyata sangat mudah dan murah bagi traveler hemat.
-
Nasi lemak di warung kecil: RM5
-
Roti canai dengan teh tarik: RM3
-
Char kway teow di pasar malam Petaling Street: RM8
Tapi yang membuatnya istimewa bukan hanya rasanya — melainkan kisah di balik setiap piring.
Seorang bapak penjual teh tarik bercerita bahwa ia sudah berjualan selama 25 tahun. “Teh ini bukan cuma minuman, tapi pengingat waktu,” katanya sambil tertawa kecil.
Dari setiap gigitan, aku belajar bahwa perjalanan adalah cara lain untuk mengenal manusia.
Menyusuri Kuala Lumpur dengan Langkah Pelan
Aku menghabiskan hari-hari dengan berjalan kaki. Dari Batu Caves yang megah hingga Bukit Bintang yang sibuk, dari taman kota yang tenang hingga sudut mural di Lorong Sultan.
Ada rasa damai dalam berjalan tanpa tujuan pasti — hanya mengikuti naluri.
Di tengah panas siang Malaysia, aku menemukan semacam ketenangan yang sederhana: duduk di pinggir jalan, menulis beberapa baris di buku catatan kecilku, dan merasa cukup.
Pelajaran dari Jalan
-
Uang bisa habis, tapi pengalaman tidak.
Dengan budget terbatas, aku belajar menghargai hal kecil — seperti tawa bersama orang asing atau secangkir teh hangat setelah hujan. -
Kesendirian bukan musuh.
Justru di tengah kesendirian, kamu benar-benar mengenal dirimu sendiri. -
Perjalanan yang sederhana bisa jadi paling bermakna.
Tidak perlu resort atau tiket mahal untuk merasa hidup. Kadang cukup dengan ransel dan hati yang terbuka.
Refleksi: Tentang Rasa Syukur di Jalan
Malam terakhir di Kuala Lumpur, aku duduk di tepi Sungai Gombak. Lampu-lampu kota memantul di air, dan aku menulis satu kalimat di jurnal perjalananku:
“Aku datang dengan sedikit uang, tapi pulang dengan cerita yang tak ternilai.”
Perjalanan ini mengajarkanku bahwa kekayaan sejati bukan tentang isi dompet, tapi tentang seberapa dalam kita merasakan hidup.
Penutup: Ransel yang Lebih Ringan, Hati yang Lebih Penuh
Kini setiap kali melihat ransel biruku, aku selalu tersenyum. Di balik bekas noda hujan dan debu jalan, tersimpan cerita tentang keberanian kecil untuk melangkah keluar dari zona nyaman.
Dan seperti semua kisah yang lahir di jalan,
cerita ini bukan tentang aku saja — tapi tentang setiap orang yang pernah bermimpi, menabung sedikit demi sedikit, dan akhirnya berkata: “Ya, aku akan pergi.”
Karena di Kazepost, kami percaya:
setiap langkah kecil di jalan besar kehidupan, layak terbang lebih jauh.