Cerita Traveler: Solo Traveling Pertama Kali ke Jepang

Cerita Traveler: Solo Traveling Pertama Kali ke Jepang

  • Penulis Kazepost
  • 24 Oktober 2025
  • 7 menit

KazepostAku masih ingat rasa gugup itu — berdiri sendirian di Bandara Narita dengan koper kecil, peta lusuh di tangan, dan jantung yang berdetak lebih cepat dari pengumuman penerbangan.

Itu adalah solo traveling pertamaku ke luar negeri, dan Jepang menjadi bab pembuka dari perjalanan panjang mencari keberanian.

Keputusan yang Tidak Spontan, Tapi Jujur

Keputusan itu tidak datang tiba-tiba. Aku sudah lama ingin bepergian sendirian, tapi selalu tertahan oleh kalimat-kalimat seperti “bahaya”, “takut nyasar”, atau “nanti bosan sendiri.”
Sampai suatu hari, setelah minggu kerja yang melelahkan, aku sadar:

🌿 Yang sebenarnya kutakutkan bukan bepergian sendiri, tapi tidak pernah mengenal diriku sendiri.

Dan di situlah semuanya dimulai — tiket promo ke Tokyo, visa yang akhirnya disetujui, dan satu niat sederhana: pergi, lalu biarkan dunia mengajarkanku sesuatu.

Hari Pertama: Tersesat di Tokyo

Tokyo adalah kota yang rapi tapi menakutkan bagi pendatang baru.
Kereta datang tepat waktu, tapi aku justru salah naik jalur.
Papan petunjuk berbahasa Jepang, dan sinyal internet tiba-tiba menghilang.

Aku panik — sampai seorang nenek di stasiun Shinjuku tersenyum, menepuk bahuku, dan mengantarkanku ke jalur yang benar. Kami tak mengerti bahasa satu sama lain, tapi entah bagaimana, aku merasa aman.

🌸 Kadang, tersesat adalah cara semesta mempertemukan kita dengan kebaikan yang tak kita rencanakan.

Hari Kedua: Menemukan Rasa di Ueno

Aku memutuskan menghabiskan hari tanpa rencana.
Berjalan tanpa arah di kawasan Ueno, masuk ke kedai ramen kecil yang dipenuhi aroma kaldu dan suara tawa pelanggan lokal.

Pemiliknya, seorang pria paruh baya, bertanya dengan senyum ramah, “Indonesia?”
Aku mengangguk, dan ia menjawab dalam bahasa campur-campur,

“Ah, good! Japan—same, love eat, love warm.”

Kami tertawa.
Semangkuk ramen itu terasa lebih dari sekadar makanan — ia adalah rasa diterima di negeri asing.

Hari Ketiga: Kyoto dan Keheningan yang Mengajarkan

Perjalanan dengan Shinkansen ke Kyoto adalah momen yang hening tapi penuh makna.
Dari jendela, gunung, sungai, dan sawah bergantian seperti potongan kenangan yang berjalan cepat.

Di Fushimi Inari Taisha, aku berjalan di bawah ribuan gerbang torii oranye.
Setiap langkah terasa seperti melewati bab kehidupan — dari takut menjadi percaya, dari ragu menjadi yakin.

Aku tidak berdoa untuk apa pun, hanya berterima kasih karena telah sampai sejauh ini.

🌿 Kadang, tujuan perjalanan bukan tempat yang baru, tapi hati yang akhirnya tenang.

Pelajaran dari Negeri Sakura

Perjalanan ini mengajariku banyak hal yang tidak pernah kutemukan di kantor atau rumah.
Aku belajar:

  • Bahwa kesendirian bisa menjadi teman, bukan musuh.

  • Bahwa keberanian tumbuh dari langkah pertama, bukan dari kepastian hasil.

  • Bahwa dunia ternyata tidak sekeras yang kutakutkan, dan manusia lebih baik dari yang sering kita kira.

Aku datang sebagai turis, tapi pulang sebagai seseorang yang lebih percaya pada hidup dan diri sendiri.

Refleksi: Tentang Diri yang Ditemukan di Jalan

Solo traveling ke Jepang bukan tentang menaklukkan dunia, tapi tentang berdamai dengan diriku sendiri.
Tentang makan sendirian tanpa canggung, tentang menikmati hujan di Kyoto tanpa tergesa, tentang berbicara pada diri sendiri dan mendengarnya dengan sabar.

Dan ketika pesawat pulang meninggalkan langit Tokyo, aku tahu: perjalanan ini akan selalu menjadi bagian dari diriku — bukan karena jaraknya jauh, tapi karena ia membawaku pulang ke diri sendiri.

Penutup: Melangkah Lagi, Dengan Rasa yang Sama

Kini, setiap kali aku menatap peta, aku tidak lagi melihat negara-negara asing.
Aku melihat peluang — untuk belajar, untuk merasa, untuk mengenal hidup dari sisi yang belum pernah kusentuh.

Karena bagi Kazepost,
setiap langkah pertama, setiap keberanian kecil, dan setiap perjalanan yang membuat kita tumbuh — layak terbang lebih jauh.