Suara Lokal: Penjaga Tradisi Tari Legong di Bali

Suara Lokal: Penjaga Tradisi Tari Legong di Bali

  • Penulis Kazepost
  • 20 Oktober 2025
  • 6 menit

Kazepost - Di sebuah desa kecil di Gianyar, Bali, setiap sore udara terasa lebih hidup.

Dari balik tembok pura, terdengar alunan gamelan perlahan meningkat — ritmis, lembut, tapi penuh tenaga.
Di halaman yang dipenuhi cahaya jingga matahari, gadis-gadis muda berlatih menari. Jari mereka lentik, mata mereka tajam, dan setiap gerakan seolah menjadi doa yang bergerak.

Inilah Legong, salah satu tarian klasik Bali yang anggun dan sakral.
Namun di balik keindahan itu, ada sosok-sosok yang menjaga agar tradisi ini tidak pudar — para guru, penabuh, dan penari yang mengabdikan hidupnya demi kelestarian budaya.

Sang Penjaga: Ibu Wayan Lestari

Kazepost berkesempatan berbincang dengan Ibu Wayan Lestari, penari senior yang kini berusia 62 tahun.
Ia telah menari sejak umur tujuh tahun, ketika ibunya pertama kali membawanya ke sanggar di Peliatan.

“Legong itu bukan sekadar tari. Ia adalah bahasa halus antara tubuh, alam, dan para dewa,” katanya sambil tersenyum.

Rambutnya telah memutih, tapi matanya tetap memancarkan semangat.
Setiap kali musik mengalun, tubuhnya bergerak seolah waktu berhenti. Dalam setiap gerakan tangan dan tatapan matanya, tersimpan dedikasi yang lahir dari cinta — bukan sekadar kebanggaan budaya.

Menari di Antara Zaman

Kini, di tengah arus modernisasi dan wisata massal, menjaga keaslian Legong bukan hal mudah.
Banyak tari Bali kini dikomersialisasi untuk turis, dipersingkat dan disesuaikan dengan kebutuhan pertunjukan cepat.

Tapi di sanggar kecilnya, Ibu Wayan memilih jalan berbeda.
Ia mengajar anak-anak desa bukan hanya teknik menari, tapi juga makna spiritual di balik setiap gerakan.

“Setiap jari punya arti, setiap tatapan punya cerita. Kalau kamu menari tanpa rasa, Legong hanya jadi tarian kosong,” ujarnya sambil menepuk dada pelan.

Di sini, tradisi bukan sekadar warisan — tapi cara hidup.

Regenerasi dan Harapan

Setiap minggu, anak-anak muda datang berlatih.
Ada yang masih berusia 8 tahun, ada juga remaja yang baru kembali dari sekolah menengah.
Mereka datang bukan karena diwajibkan, tapi karena merasa bagian dari sesuatu yang lebih besar: identitas mereka sendiri.

Salah satu muridnya, Made Ayu (14 tahun), berkata dengan polos,

“Saya ingin menari seperti ibu. Kalau saya menari Legong, saya merasa dekat dengan nenek saya.”

Tradisi yang hidup bukanlah yang disimpan di museum, tapi yang dihidupkan oleh cinta lintas generasi.

Refleksi: Ketika Budaya Menjadi Rumah

Tari Legong bukan hanya seni pertunjukan. Ia adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara yang fana dan yang suci.
Dan orang-orang seperti Ibu Wayan adalah penjaga jembatan itu — diam, sabar, tapi kuat.

Dalam setiap gerakannya, tersimpan pesan lembut:
bahwa budaya tidak akan hilang selama masih ada satu hati yang memilih untuk menjaganya.

🌿 Kadang, bentuk cinta paling sederhana adalah tetap menari meski dunia berubah arah.

Penutup: Melangkah Bersama Tradisi

Malam mulai turun di Gianyar. Gamelan perlahan berhenti, tapi gema langkah para penari kecil masih terdengar di halaman.
Ibu Wayan menatap mereka dengan mata yang penuh bangga.

“Selama mereka menari, Bali akan tetap hidup,” katanya pelan.

Dan di sanalah keindahan sejati tinggal — bukan di panggung besar, tapi di hati orang-orang yang terus menjaga harmoni di tengah perubahan.

Karena di Kazepost, kami percaya —
setiap gerakan, setiap warisan, dan setiap jiwa yang menjaga budaya, layak terbang lebih jauh.